Aqad Halal Menjadi Haram


Muamalah Kontemporer


Kaidah  الأصل في المعاملات الإباحة»»  "Hukum Asal Muamalat Mubah"

Para ulama dari masa ke masa dan dari berbagai mazhab kecuali Zahiriyah menyatakan bahwa hukum asal setiap muamalat adalah mubah/halal (boleh).
Al Imam Syafi'i (wafat: th 204H) berkata,
أَنْ يَكُونَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ أَحَلَّ الْبَيْعَ إذَا كَانَ مِمَّا لَمْ يَنْهَ عَنْهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
  "Allah telah menghalalkan setiap jual beli, apabila tidak ada larangan dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam". (Al umm 3/3).
Ibnu Amir Hajj Al Hanafi (wafat th 879H) berkata ,
الأصل في البيع الحل
"Hukum asal setiap jual-beli adalah halal". (At Taqrir wa tahbir 1/263).
Ibnu Ar Ruhaybani Al Hanbali (wafat th 1243H) berkata,
الأصل في العقود الجواز
"Hukum asal setiap akad adalah boleh". (Mathalib Ulil Nuha 3/608).
Diantara dalil kaidah ini sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, dari Hakim bin Hizam radhiyallahu 'anhu, ia berkata,
قُلْتُ: يَا رَسُولَ الله، إِنِّي أَشْتَرِي بُيُوعًا فَمَا يَحِلُّ لِي مِنْهَا وَمَا يَحْرُمُ عَلَيَّ؟ قَالَ: «يَا ابْنَ أَخِي، إِذَا اشْتَرَيْتَ مِنْهَا بَيْعًا فَلَا تَبِعْهُ حَتَّى تَقْبِضَهُ»
"Wahai Rasulullah, saya sering melakukan jual-beli, apa jual-beli yang halal dan yang haram? Nabi bersabda, "Wahai anak saudaraku! Bila engkau membeli sebuah barang janganlah engkau jual sebelum barang tersebut engkau terima". (HR. Ahmad. Imam Nawawi menyatakan derajat hadis ini hasan).
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam hanya menjelaskan hal-hal yang diharamkan dalam jual beli padahal beliau ditanya tentang kaidah-kaidah halal/haram dalam jual beli maka dapat dipahami bahwa pada dasarnya setiap jual beli hukumnya boleh, kecuali terdapat larangan dalam akad tersebut.

Penerapan Kaidah

Bukanlah maksud kaidah ini bahwa setiap ada sebuah bentuk akad muamalat baru dihukumi boleh begitu saja tanpa mencari dalil-dalil yang mengharamkannya terlebih dahulu.
Akad tetapi maksudnya bahwa bila ada sebuah akad muamalat baru seorang mujtahid mencari, meneliti menelaah apakah ada dalil-dalil syar'i yang mengharamkan akad tersebut atau tidak. Bila tidak ada maka akad tersebut barulah dihukumi boleh, dikembalikan kepada kaidah hukum asal muamalat.
Beginilah cara penerapan kaidah yang berhubungan dengan istishhab sebagaimana dijelaskan oleh para ulama, diantaranya Ibnu Taimiyah dalam Al Fatawa Kubra 4/99.

Aqad-aqad Halal menjadi Haram serta Aplikasinya dalam Muamalat Kontemporer

Dalam aplikasi kaidah di atas bahwa seluruh akad jual beli hukumnya halal, kecuali akad tersebut mengandung unsur riba atau zari'ah (sarana) menuju riba, atau terdapat unsur gharar, atau kezaliman. Ibnu Utsaimin berkata, "Selama dalam akad tidak terdapat unsur kezaliman, gharar dan riba maka akad tersebut dianggap sah". (Al Mumti' 9/120).
Diantara akad jual beli yang merupakan sarana menuju riba yaitu jual beli 'Inah.

1.      Jual beli 'Inah

Ba'i 'inah yaitu: membeli barang dengan cara kredit kemudian barang tersebut dijual kembali kepada penjual tadi secara tunai dengan harga dibawah harga jual beli pertama.
Misanya: A datang ke sebuah showroom B dan membeli motor seharga 13 juta rupiah dengan angsuran 1 juta per bulan. Setelah A menerima motor, motor dijual kembali kepada showroom B seharga 10 juta rupiah tunai.
Pada hakikatnya A menerima uang 10 juta rupiah tunai yang nanti dibayarnya 13 juta rupiah dalam jangka waktu 13 bulan dengan cicilan 1 juta per bulan. Ini sama dengan A pinjam uang 10 juta rupiah dan dibayar 13 juta rupiah. Sedangkan perpindahan barang hanya sekedar kedok untuk pelegalan riba.
Bentuk lain dari 'Inah ('Aks al 'Inah): A menjual rumahnya kepada B seharga 100 juta rupiah dibayar tunai oleh B. kemudian A membeli kembali rumah tersebut seharga 130 juta rupiah diangsur selama 3 tahun. Maka A tetap memiliki rumahnya dan di waktu yang sama dia memiliki utang kepada B sebesar 100 juta yang akan dibayar dengan cara angsuran sebesar 130 juta.
Dalam kasus ('Aks al 'Inah) yang mendapat uang tunai adalah pemilik barang kebalikan 'Inah dimana yang mendapat uang tunai adalah pihak yang tidak memiliki barang.
Hukum jual beli 'inah
Bila jual beli 'inah ini disyaratkan saat akad dibuat maka para ulama sepakat bentuk jual beli ini hukumnya haram. (Dr. Sulaiman At Turki, Bai' taqsith, hal 57).
Karena para ulama dari mazhab hanafi, maliki dan hanbali mengharamkan 'inah yang tidak disyaratkan di awal, apalagi bila disyaratkan.
Disebutkan dalam Al mausu'ah Al kuwaytiyyah setelah menjelaskan bentuk 'Inah,
قال أبو حنيفة ومالك وأحمد : لا يجوز هذا البيع . وقال محمد بن الحسن : هذا البيع في قلبي كأمثال الجبال ، اخترعه أكلة الربا (الموسوعة الكويتية 9/96)
"Abu Hanifah, Malik dan Ahmad tidak membolehkan akad 'Inah. Dan Muhammad bin Al Hasan berkata, "Akad ini dalam hatiku seperti gunung, akad ini diciptakan oleh para pemakan riba" (Al mausu'ah Al kuwaytiyyah 9/96).
Sekalipun mazhab Syafi'i membolehkan 'inah, akan tetapi dalam bentuk 'inah yang disyaratkan mereka tetap mengharamkannya. Adapun yang disyaratkan dari awal mereka mengharamkannya.
As Subki berkata,
(فرع) فإن فرض الشرط مقارنا للعقد بطل بلا خلاف وليس محل الكلام وإنما محل الكلام فيما إذا لم يكن مشروطا في العقد (تكملة المجموع (10/157-158)
"Bila disyaratkan dalam akad (bahwa pembeli harus menjual kembali barang yang dibelinya secara kredit kepada penjual dengan cara tunai yang harganya di bawah harga kredit) akad ini batal, dan tidak ada perbedaan pendapat (ulama mazhab Syafi'i)".
Dalil-dalil yang mengharamkan 'Inah:
1.       Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma,
« إِذَا ضَنَّ النَّاسُ بِالدِّينَارِ وَالدِّرْهَمِ ، وَتَبَايَعُوا بِالْعِينَةِ ، وَاتَّبَعُوا أَذْنَابَ الْبَقَرِ، وَتَرَكُوا الْجِهَادَ فِي سَبِيلِ الله ، أَنْزَلَ الله بِهِمْ بَلاءً ، فَلا يَرْفَعُهُ حَتَّى يُرَاجِعُوا دِينَهُمْ»
"Bila orang-orang tidak mau meminjamkan uang dinar dan dirham (tanpa bunga), mereka  melakukan transaksi 'inah, mereka tunduk dengan harta kekayaan (hewan ternak), dan mereka meninggalkan jihad niscaya Allah timpakan kepada mereka bencana, yang tidak akan dicabut bencana tersebut hingga mereka kembali kepada agama Allah.  (HR. Ahmad. Dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Qatthan).
Dan turunnya azab atas sebuah perbuatan menunjukkan bahwa perbuatan tersebut diharamkan.
2.       Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma ditanya tentang hukum seseorang yang menjual sehelai kain sutera dengan harga 100 dirham tidak tunai, kemudian dia beli kembali sutera tersebut dengan harga 50 dirham tunai, Ibnu Abbas berkata,
«دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ، وَبَيْنَهُمَا جَرِيرَةٌ»
"Menukar dirham dengan dirham dan jumlahnya berbeda sedangkan kain sutera hanya sebagai kedok". (Ibnu Abi Syaibah, Mushannaf 4/282).
3.       Diriwayatkan bahwa Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu ditanya tentang hukum jual-beli 'inah, ia berkata,
إِنَّ اللَّه لَا يُخْدَع هَذَا مِمَّا حَرَّمَ اللَّه وَرَسُوله
"Sesungguhnya Allah tidak bisa ditipu, ini jual-beli yang diharamkan Allah dan rasul-Nya". (aunul ma'bud 9/242).
Di takhrij dari hukum 'Inah, maka fatwa DSN NO: 31/DSN-MUI/VI/2002 Tentang PENGALIHAN HUTANG, alternatif I tidak dibolehkan oleh seorangpun ulama mazhab, dan tidak bisa berlindung di balik mazhab Syafii yang membolehkan 'Inah. Bunyi fatwa tersebut,
Pertama: Ketentuan Umum:
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan:
  1. Pengalihan hutang adalah pemindahan hutang nasabah dari bank/lembaga keuangan konvensional ke bank/lembaga keuangan syariah…  
Kedua: Ketentuan Akad
Akad dapat dilakukan melalui empat alternatif berikut:
  1. Alternatif I
    1. LKS memberikan qardh kepada nasabah. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)-nya; dan dengan demikian, asset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh (الملك التام).
    2. Nasabah menjual aset dimaksud angka 1 kepada LKS, dan dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qardh-nya kepada LKS.
    3. LKS menjual secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan." (Himpunan Fatwa DSN, hal. 189-190).
 Dan juga termasuk dalam akad 'Aks al 'Inah untuk alternatif II yang ditawarkan oleh DSN dengan no fatwa yang sama dan untuk kasus yang sama (pengalihan utang), hanya saja beda dengan sebelumnya alternatif II ini sebagian aset. Bunyi fatwa tersebut, sebagai berikut:
2.       Alternatif II
1.       LKS membeli sebagian aset nasabah, dengan seizin LKK; sehingga dengan demikian, terjadilah syirkah al-milk antara LKS dan nasabah terhadap asset tersebut.
2.       Bagian asset yang dibeli oleh LKS sebagaimana dimaksud angka 1 adalah bagian asset yang senilai dengan hutang (sisa cicilan) nasabah kepada LKK.
3.       LKS menjual secara murabahah bagian asset yang menjadi miliknya tersebut kepada nasabah, dengan pembayaran secara cicilan. (Himpunan Fatwa DSN, hal. 190-191).

2. Bai' Murabahah

 Murabahah dalam istilah para ulama fikih terdahulu yaitu bagian dari jual-beli amanah; dimana penjual menyebut harga pokok barang dan mensyaratkan laba sekian kepada pembeli. (Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaytiyyah, jilid XXXVI, hal 318).
Murabahah ini telah dimodifikasi dengan menambahkan janji antara pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual-beli murabahah bila barang yang dipesan telah dibeli oleh pihak penjual maka nama jual beli ini berubah menjadi Murabahah lil Aamir bisysyiraa'.
Pada dasarnya murabahah termasuk dalam kaidah bahwa setiap jual beli dibolehkan. Akan tetapi akad halal ini bisa berubah menjadi haram bila terdapat hal-hal yang daiharamkan, seperti:
a.       Pada saat calon membeli mengutarakan maksudnya dengan menjelaskan spesifikasi barang yang diinginkan, dia berjanji untuk membeli barang tersebut. Bila janji bersifat  mengikat, maka janji berubah menjadi akad dan akad jual beli barang yang belum dimiliki oleh penjual adalah akad yang tidak sah.
Namun sebagian ulama berusaha membolehkannya, diantaranya Dr. Yusuf Al Qardhawi dan Dr. Sami Hamud dan DSN dengan fatwa NO: 04/DSN-MUI/IV/2000 Tentang MURABAHAH, "
Kedua : Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:
1.       Nasabah mengajukan permohonan dan perjanjian pembelian suatu barang atau aset kepada bank.
2.       Jika bank menerima permohonan tersebut, ia harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
3.       Bank kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah harus menerima (membeli)nya sesuai dengan perjanjian yang telah disepakatinya, karena secara hukum perjanjian tersebut mengikat; kemudian kedua belah pihak harus membuat kontrak jual beli. (Himpunan Fatwa DSN, hal. 25).
Dasar dari pendapat ini adalah sebagai berikut:
-          Nabi bersabda:
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
"Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain baik permulaan ataupun balasan". (HR. Ibnu Majah. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani).
Bila janji dalam fase ini tidak boleh dibuat mengikat akan berakibat kerugian bagi pihak penjual, karena setelah barang ia dibeli, dengan mudahnya pembeli menarik janji untuk melangsungkan akad.
Tanggapan: cara berdalil ini sangat lemah, karena kerugian dalam fase ini tidak harus diatasi dengan mengikat janji untuk membeli. Banyak alternatif lain yang telah dijelaskan oleh para ulama terdahulu. Di antaranya Ibnu Qayyim berkata,
رجل قال لغيره: " اشتر هذه الدار - أو هذه السلعة من فلان - بكذا وكذا، وأنا أربحك فيها كذا وكذا " فخاف إن اشتراها أن يبدو للآمر فلا يريدها، ولا يتمكن من الرد، فالحيلة أن يشتريها على أنه بالخيار ثلاثة أيام أو أكثر، ثم يقول للآمر: قد اشتريتها بما ذكرت، فإن أخذها منه، وإلا تمكن من ردها على البائع بالخيار، فإن لم يشترها الآمر إلا بالخيار فالحيلة أن يشترط له خيارا أو نقص من مدة الخيار التي اشترطها هو على البائع؛ ليتسع له زمن الرد إن ردت عليه. (إعلام الموقعين عن رب العالمين 4 / 23 )
"Apa solusi untuk seseorang yang memerintahkan orang lain untuk membeli sebuah rumah dengan harga seribu dirham dan dia berjanji akan membeli darinya dengan harga 1100 dirham jika orang yang diperintahkan telah membelinya, sedangkan ia khawatir dengan resiko bahwa setelah rumah dibeli pembeli kedua mengingkari janjinya? Jawab: hendaklah pembeli pertama meminta khiyar syarat dari penjual pertama bahwa dia berhak mengembalikan barang yang telah dibeli seandainya pembeli kedua mengingkari janjinya". (I'laam Muwaqi'in, jilid IV, hal 39).
-          Banyak dalil-dalil dari Al Quran dan Sunnah yang mengharuskan seorang muslim memenuhi janjinya dan menyebut orang yang tidak memenuhi janji dengan munafik.
Tanggapan: dalil ini juga tidak kuat, karena janji yang wajib dipenuhi tersebut adalah janji dalam hal kebaikan dan bukan janji untuk melakukan akad jual beli. Adapun janji untuk melakukan akad jual beli sama statusnya dengan tawar-menawar yang tidak ada keterikatan untuk melanjutkan akad. Dalam Syarh Majallah Ahkam Adliyah tertera,
وإنما لا ينعقد البيع بها (صيغة الاستقبال التي هي معنى الوعد المجرد) ، لأنها وعد مجرد، وفي معنى المساومة في البيع
 "Akad jual-beli tidak terjadi dengan sekedar janji, karena janji semata-mata sama statusnya dengan tawar-menawar". (Durarul hukkam 1/120).
Berseberangan dengan pendapat di atas teks Imam Syafii yang membatalkan akad janji yang dibuat mengikat pada murabahah.
Imam Syafii berkata,
"وإذا أرى الرجل الرجل السلعة فقال اشتر هذه وأربحك فيها كذا فاشتراها الرجل فالشراء جائز والذي قال أربحك فيها بالخيار إن شاء أحدث فيها بيعا، وإن شاء تركه وهكذا إن قال اشتر لي متاعا ووصفه له أو متاعا أي متاع شئت وأنا أربحك فيه فكل هذا سواء، يجوز البيع الأول ويكون هذا فيما أعطى من نفسه بالخيار وسواء في هذا ما وصفت إن كان قال أبتاعه وأشتريه منك بنقد أو دين يجوز البيع الأول ويكونان بالخيار في البيع الآخر، وإن تبايعا به على أن ألزما أنفسهما الأمر الأول فهو مفسوخ من قبل شيئين: أحدهما: أنه تبايعاه قبل أن يملكه البائع" (الأم للشافعي 3 / 39).
"… Jika keduanya mengikat janji dengan pemesanan, maka akadnya batal, karena mereka menjual-belikan barang yang belum dimiliki penjual". (Al Umm, 3/39).
Pendapat ini yang diputuskan oleh Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fiqh OKI) no: 40-41 (2/5, 3/5) tahun 1988, yang berbunyi,
المواعدة (وهي التي تصدر من الطرفين) تجوز في بيع المرابحة بشرط الخيار للمتواعدين كليهما أو أحدهما، فإذا لم يكن هناك خيار فإنها لا تجوز، لأن المواعدة الملزمة في بيع المرابحة تشبه البيع نفسه، حيث يشترط عندئذ أن يكون البائع مالكًا للمبيع حتى لا تكون هناك مخالفة (( لنهي النبي صلى الله عليه وسلم عن بيع الإنسان ما ليس عنده ))
 "Janji dari kedua belah pihak (penjual-pembeli) dalam transaksi murabaha lil amir bisysyira' boleh dengan syarat kedua belah pihak mendapat hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan akad. Namun bila janji ini mengikat dan tidak boleh menarik janjinya maka hal ini tidak dibolehkan. Karena janji yang mengikat sama dengan akad.  Dan akad  atas barang yang belum dimiliki hukumnya bertentangan dengan larangan Nabi menjual barang yang belum dimiliki". (Journal Fiqh Council, edisi v,  jilid II, hal 965).
Landasan pendapat ini bahwa yang dilihat dalam akad adalah hakikatnya dan bukan namanya. Maka bila janji itu bersifat mengikat maka hukumnya sama dengan akad. Dan akad yang dilakukan oleh pihak penjual kedua adalah akad yang batal karena dia telah melakukan akad menjual barang yang belum dimiliki. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
«لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ»
Jangan engkau jual barang yang belum engkau miliki!” (HR. Abu Daud. Hadis ini dishahihkan oleh Al-Albani).

b.      Pihak menerima pesan untuk membeli barang meminta uang muka dari pemesan.
Karena tahap ini hanya sekedar janji dari kedua belah pihak yang sifatnya tidak mengikat, maka pihak penjual tidak boleh meminta uang muka (down payment) kepada calon pembeli.
Fatwa haramnya menarik uang muka pada tahap ini dikeluarkan oleh Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) no: 72 (3/8) tahun 1993 yang berbunyi,
ولا يجري (بيع العربون) في المرابحة للآمر بالشراء في مرحلة المواعدة ولكن يجري في مرحلة البيع التالية للمواعدة
"Tidak boleh memberikan dan menerima uang muka pada tahapan janji yang dilakukan dalam transaksi Murabahah lil âmir bisysyiraa', dan uang muka boleh diambil pada tahapan selanjutnya". (Journal Islamic Fiqh Council, edisi VIII, jilid I, hal 641).
c.       Pihak pemesan tidak boleh membuat ikatan apapun dengan pemilik barang, bila ia telah membayar uang muka kepada pemilik barang, maka akadnya berubah menjadi riba.
Hal ini disebabkan bahwa pihak bank tidak dapat dikatakan membeli barang dari pihak penerima pesanan, karena pemilik barang telah menjualnya ke nasabah. Maka status pihak kedua dalam hal ini hanya melunasi utang nasabah ke pemilik barang secara tunai dan nanti menariknya dari nasabah secara kredit dengan ditambah laba, maka hakikat transaksi ini adalah meminjamkan uang kepada nasabah dan dikembalikan secara angsuran ditambah dengan laba. Ini jelas riba jahiliyyah.
Oleh karena itu di dalam panduan perbankan syariah yang disusun oleh AAOIFI  disebutkan,
يجب إلغاء أي ارتباط عقدي سابق ، بين العميل الآمر بالشراء والبائع الأصلي إن وجد، ويشترط أن تكون هذه الإقالة من الطرفين حقيقية وليست صورية ... مستند وجوب إلغاء أي ارتباط سابق بين العميل والمورد حتى لا تؤول المعاملة إلى مجرد قرض ربوي، لأن انتفاء العلاقة التعاقدية بينهما شرط لصحة تنفيذ المؤسسة عملية المرابحة للآمر بالشراء
"Harus tidak ada ikatan transaksi apapun antara nasabah yang mengajukan permohonan ke pihak bank dengan pihak penjual pertama … karena bila terdapat ikatan transaksi sebelumnya sesungguhnya murabahah yang dilakukan hakikatnya adalah pinjaman yang dibayar berbunga (riba)". (AAOIFI, Al Ma'ayir As Syar'iyyah, hal 92, 103).    

d.       Objek akad murabahahnya adalah emas/perak. Maka murabahahnya menjadi riba bai'.
Dewan Syariah Nasional mengeluarkan fatwa yang membolehkan jual-beli emas secara tidak tunai nomor: 77/DSN-MUI/V/2010 yang berbunyi,
"Jual beli emas secara tidak tunai, baik melalui jual beli biasa atau jual beli murabahah, hukumnya boleh (mubah, jaiz) selama emas tidak menjadi alat tukar yang resmi (uang)". (Himpunan Fatwa DSN, jilid 2, hal. 287).
Di antara landasan fatwa ini merujuk kepada pendapat Ibnu Taimiyah (wafat th 728H) dan Ibnu Qayyim (wafat th 751H) yang membolehkan menukar emas perhiasan dengan dinar (uang emas) dengan cara tidak sama beratnya dan tidak tunai karena emas adalah perhiasan dan bukan mata uang, dengan demikian emas perhiasan telah keluar dari illat uang emas dinar, yaitu tsamaniyah. Maka emas perhiasan tak ubahnya barang dagangan yang boleh ditukar dengan mata uang emas (dinar) dengan cara tidak tunai dan tidak sama beratnya.
Ibnu Taimiyah berkata,
يجوز بيع المصوغ من الذهب والفضة بجنسه، من غير اشتراط التماثل، ويجعل الزائد في مقابل الصنعة، سواء كان البيع حالا أو مؤجلا، ما لم يقصد كونها ثمنا
"Emas dan perak dalam bentuk perhiasan yang ada unsur buatan manusia tidak disyaratkan menjualnya dengan yang sejenis (dinar/dirham) sama beratnya, karena nilai tambah pembuatan emas perhiasan. Jual beli boleh dilakukan tunai ataupun tidak tunai, selama perhiasan emas dan perak tersebut tidak dimaksudkan sebagai tsaman (harga, uang)". (Al Ba'ly, Al Ikhtiyaraat Al Fiqhiyyah, hal 188).
Ibnu Qayyim memperkuat pendapat tersebut dengan memberikan argumen bahwa perhiasan emas dan perak telah keluar dari fungsi emas dinar dan perak dirham sebagai alat tukar menjadi barang dagangan biasa. (I'laam Al Muwaqqi'in, jilid 2, hal 108).
Tanggapan:
a.       Dalam istilah ilmu ushul fiqh cara DSN mengambil dalil dinamakan dengan takhrij, yaitu menganalogikan bolehnya murabahah emas dengan pendapat yang membolehkan menjual perhiasan emas dengan uang emas secara tidak tunai. Agar hukum yang ditakhrij (dianalogikan) menjadi kuat maka disyaratkan bahwa pendapat almukharraj minhu (dalam hal ini bolehnya menjual perhiasan emas dengan uang emas dengan cara tidak tunai) haruslah pendapat yang rajih (kuat). Namun sayang, persyaratan ini tidak terpenuhi karena pendapat ini sangat lemah dan bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama bahkan beberapa ulama menukil bahwa pendapat tersebut bertentangan dengan Ijma'.
Ibnu Hubairah (wafat th: 560H) berkata,
فأجمع الْمُسلمُونَ على أَنه لَا يجوز بيع الذَّهَب بِالذَّهَب مُنْفَردا، أَو الْوَرق بالورق تبرها ومضروبها وحليها إِلَّا مثلا بِمثل، وزنا بِوَزْن، يدا بيد، وَأَنه لَا يُبَاع شَيْء مِنْهَا غَائِب بناجز.
فقد حرم فِي هَذَا الْجِنْس الرِّبَا من طَرِيقين الزِّيَادَة وَالنِّسَاء جَمِيعًا. وَاتَّفَقُوا على أَنه يجوز بيع الذَّهَب بِالْفِضَّةِ وَالْفِضَّة بِالذَّهَب متفاضلين يدا بيد، وَيحرم النسأ فِي ذَلِك. (اختلاف الأئمة العلماء 1 / 358)
"Umat Islam telah sepakat bahwa tidak boleh menukar emas dengan emas, atau perak dengan perak, baik yang masih berbentuk bahan baku, berbentuk mata uang, ataupun berbentuk perhiasan dengan cara tidak tunai dan tidak sama beratnya. Ini merupakan riba nasiah dan riba fadhl. Dan umat Islam juga sepakat bahwa boleh menukar emas dengan perak dengan ukuran yang berbeda akan tetapi haram dilakukan dengan cara tidak tunai".  (Ikhtilaf Al Aimmah Al Ulama, jilid 1, hal 358).
Ibnu Juzay Maliky (wafat th: 741H) berkata,
تحرم النَّسِيئَة إِجْمَاعًا فِي بيع الذَّهَب بِالْفِضَّةِ وَهُوَ الصّرْف وَفِي بيع الذَّهَب بِالذَّهَب وَالْفِضَّة بِالْفِضَّةِ سَوَاء كَانَ ذَلِك مُبَادلَة فِي المسكوك أَو مراطلة فِي المسكوك أَو المصوغ فَلَا يجوز التَّأْخِير فِي شَيْء من ذَلِك كُله بل يجب أَن يكون يدا بيد. ( القوانين الفقهية ص 165).
"Para ulama sepakat bahwa haram hukumnya menukar emas dengan perak, atau emas dengan emas, atau perak dengan perak, baik berbentuk bahan baku ataupun telah diubah menjadi perhiasan dengan cara tidak tunai. Akan tetapi serahterima kedua barang wajib dilakukan tunai". (Al Qawanin Al Fiqhiyyah, hal 165)
Oleh karena pendapat ini terlalu lemah sehingga Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) tidak menganggap pendapat ini dalam muktamar di Abu Dhabi pada tahun 1995 dengan keputusan yang berbunyi,
تأكيد ما ذهب إليه عامة الفقهاء من عدم جواز مبادلة الذهب المصوغ بذهب مصوغ أكثر مقدارا منه ؛ لأنه لا عبرة في مبادلة الذهب بالذهب بالجودة أو الصياغة
"Menekankan kembali pendapat seluruh para ahli fikih yang melarang menukar emas perhiasan dengan yang tidak perhiasan dengan ukuran yang tidak sama".(Journal Islamic Fiqh Council, edisi IX, jilid II, hal 582).
Setelah mengetahui bahwa pendapat ini syaz (tidak populer) dikarenakan jelas-jelas bertentangan dengan hadis yang mewajibkan menukar emas dengan emas dengan cara tunai. Juga hadis tersebut mutlak melarang menukar emas dengan emas dengan cara tidak tunai; baik emas perhiasan ataupun emas sebagai mata uang, dan tidak ada satupun dalil yang mentaqyid (mengikat) kemutlakan emas tersebut maka mengkhususkan larangan hanya untuk emas sebagai mata uang termasuk mentaqyid dengan tanpa dalil. Adapun dalil bahwa dengan adanya unsur pembuatan manusia menjadikan emas perhiasan keluar dari emas yang dimaksud pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam sebagai alat tukar tidak dapat dibenarkan, karena emas yang menjadi alat tukar di masa Nabipun terdapat unsur pembuatan manusia dalam bentuk ukiran gambar, ornamen, dan tulisan.
b.       Kemudian dalil bahwa illat riba emas adalah tsamaniyah (uang sebagai alat tukar) dan bila illat ini hilang dari emas karena sekarang emas bukan lagi sebagai alat tukar telah diganti dengan uang kartal maka emas dianggap sama dengan barang lainnya boleh ditukar dengan uang kartal dengan cara tidak tunai, sangat lemah dari tinjaun kaidah ushul fiqh.
Karena persyaratan keabsahan sebuah illat mustanbathah bahwa illat tersebut tidak boleh menafikan illat asalnya. Maka illat tsamaniyah yang sifatnya ijtihad para ulama tidak boleh menafikan illat emas yang dijelaskan Nabi secara tekstual. (lihat: Az ZArkasyi, Al Bahr Al Muhith fi Ushul Al Fiqh, jilid 7, hal 193)
Lebih tegas lagi syaikh Ibn Bayyah (ulama senior ketua majelis fatwa Eropa) menjelaskan dalam bukunya (Maqashid Al Muamalat, Hal 64-65),
العلة المستنبطة لا يمكن أن تلغي الحكم المعلل بها في حال تخلف العلة ، كالثمنية في النقدين بأن صار الذهب والفضة أو أحدهما غير رائج في الثمنية، فإن ذلك لا يؤثر في أصل ربويتهما؛ لأن الربوية منصوصة من الشارع متحققة فلا تكر عليها علة مستنبطة بالبطلان، ومن جهة أخرى فإن مقصد الربوية يمنع التفاضل في النوع والنسيئة في الجنسين مقصد أصلي ابتدائي صريح، فلا يكر عليه مقصد تابع في الرتبة مظنون في الجملة.
"Illat mustanbathah tidak mungkin dapat membatalkan hukum yang diillatinya ketika illatnya tidak terdapat pada hukum tersebut. Seperti illat tsamaniyah pada emas dan perak ketika emas dan perak tidak lagi sebagai alat tukar maka ketiadaan illat tsamaniyah pada emas dan perak tidak berpengaruh pada hukum riba emas dan perak. Karena riba emas dan perak dinashkan oleh pembuat syariat (Nabi) maka tidak mungkin dibatalkan oleh Illat mustanbathah. Juga dari tinjaun maqashid syariah yang lain maqshad larangan menukar emas dan perak secara tidak tunai merupakan maqshad utama dan sangat jelas maka tidak mungkin dinafikan oleh maqshad pengikut (yaitu: tsamaniyah) yang derajatnya zhanni".
c.       Andai pendapat Ibnu Taimiyah kita anggap sebagai pendapat yang kuat, tetap juga tidak dapat dibenarkan menarik hukum boleh menukar uang kartal dengan emas seperti yang dipraktikkan oleh LKS, karena Ibnu Taimiyah tidak membolehkan secara mutlak. Beliau mengikatnya selama emas tidak dimaksudkan sebagai tsamaniyah (alat tukar, harga). Persyaratan ini tidak terpenuhi pada praktik bank syariah karena emas yang dijual secara murabahah oleh pihak bank bukanlah emas perhiasan akan tetapi emas batang yang memang dimaksudkan sebagai investasi, sedangkan menjadikan emas sebagai investasi juga merupakan salah satu fungsi uang.
DR. Rafiq Al Mishri (peneliti senior di IDB) berkata,
إذا كان القصد من الحلي هو اتخاذها ثمنا (نقدا) ، بقصد الادخار والحفاظ على القوة الشرائية، فإن مبادلة الذهب بالذهب عندئذ ، وكذلك الفضة بالفضة تعود إلى أصلها في هذا الباب، فيحكمها التماثل والتقابض ، ولا يجوز فيها التفاضل والنساء. ولا ينطبق عليها حينئذ رأي ابن تيمية ، ولا ابن القيم .
(Lihat: Rafiq Al Mishri, Ahkam ba'i huly az zahab wa al fidhdhah, hal 60-61).
d.       Fatwa DSN yang membolehkan jual beli emas tidak tunai membuka celah menghalalkan riba jahiliyah.
Misalnya: seorang rentenir dengan sangat mudah mengakali riba dengan cara: ia menyerahkan uang tunai kepada seorang kreditur senilai sepuluh juta rupiah  dengan imbalan emas sebanyak 20g yang akan diterima setelah 3 bulan. Padahal harga emas saat akad dibuat 1g = Rp.560.000,00 maka sepuluh juta rupiah seharusnya sebanyak 17,8g emas. Pada saat penyerahan emas maka rentenir menerima 20g emas yang harganya pada saat ia menyerahkan uang tunai 10 juta = 11 juta 200ribu rupiah. Dengan cara jual-beli emas tidak tunai rentenir sudah mendapat pertambahan nilai utang sebanyak 1juta 200ribu belum lagi pertambahan nilai utang akibat kenaikan harga emas dan penurunan nilai tukar mata uang akibat inflasi.
e.       Fatwa DSN yang membolehkan jual beli emas secara tidak tunai bertentangan dengan panduan perbankan syariah internasional yang dibuat oleh AAOIFI yang menyatakan dalam Bab: Al Murabahah lil Amir Bisysyira', No. 2/2/6, yang berbunyi,
لا يجوز إجراء المرابحة المؤجلة في الذهب أو الفضة أو العملات ... مستند المنع من إجراء المرابحة المؤجلة في الذهب أو الفضة أو العملات قوله صلى الله عليه وسلم في مبادلة الذهب بالفضة: (يداً بيد ) أخرجه مسلم ، أي بدون تأجيل التقابض . وللعملات حكم الذهب والفضة، وقد تأكد ذلك بقرار مجمع الفقه الإسلامي الدولي ]قرار رقم 63 (1/7) [
"Jual beli Murabahah tidak tunai tidak boleh dilakukan pada emas, atau perak, atau mata uang". (Al Ma'ayir Asyar'iyyah, hal 93, 104).

e. Ta'widh bagi pembeli murabahah yang menunda kewajiban
Ta’widh yang dimaksud adalah ganti rugi yang harus dibayar oleh nasabah yang menunda-nunda pembayaran kewajiban yang jatuh tempo, yang mengakibatkan LKS mengalami kerugian dalam bentuk tidak mampunya LKS memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo ke pihak lain atau hilangnya laba yang diperkirakan dalam sebuah investasi karena kredit macet.
Ta’widh yang dimaksud berbeda dengan penalty yang dianggap sama dengan riba oleh seluruh para ulama. Di mana besar nominal Ta’widh tidak ditentukan dari semula akan tetapi ditetapkan berdasarkan kerugian riil yang diderita oleh pihak bank sedangkan besar nominal penalty ditetapkan semenjak transaksi dibuat berdasarkan perhitungan waktu.
Ulama yang mendukung penerapan ta'widh, yaitu: Syaikh Abdullah bin Mani' dan DSN dalam Fatwa DSN no: 54/DSN-MUI/X/2006 tentang Syariah Card. Berkenaan dengan Ketentuan Ta’widh dan Denda, yang berbunyi:
a.       Ta’widh. Penerbit Kartu dapat mengenakan ta’widh, yaitu ganti rugi terhadap biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Penerbit Kartu akibat keterlambatan pemegang kartu dalam membayar kewajibannya yang telah jatuh tempo. (Himpunan Fatwa DSN, jilid II, hal. 21).
Dalil-dalil pendapat ini:
1.            Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
«لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ»
"Tidak boleh melakukan perbuatan yang membuat mudharat bagi orang lain; baik permulaan atau balasan". (HR. Ibnu Majah. Hadis ini di shahihkan oleh Al-Albani).
Hadis ini menjelaskan haram hukumnya melakukan perbuatan yang mudharat (merugikan) dan harus dihilangkan. Kerugian yang diderita oleh pihak kreditur -akibat debitur menunda melunasi utangnya- tidak dapat dihilangkan melainkan dengan memberikan uang ganti-rugi, maka dengan demikian boleh menarik ganti rugi akibat perbuatan nasabah yang menunda kewajiban angsuran utang. ( lihat: Syaikh Bin Mani', Mathalul ghaniyy, hal 21).
Tanggapan: Dalil ini tidak tepat, karena menghilangkan kerugian pihak kreditur bukan dengan menetapkan uang ganti rugi akan tetapi dengan menjual barang gadai atau mengajukannya ke pengadilan, lalu pengadilan menjatuhkan hukum kurungan terhadap debitur hingga ia melunasi kewajiban bayar. Juga bila ditetapkan uang ganti rugi ini akan merugikan pihak debitur sedangkan kerugian tidak boleh dihilangkan dengan kerugian yang sama. (lihat: Dr. Iyadh Al Anzy, Asy Syuruth At Ta'widhiyyah, jilid I, hal 245)
2.       Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam:
«مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ» dan  «لَيُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ»
"Penundaan pelunasan utang oleh orang yang mampu merupakan kezaliman, dibolehkan menjatuhkan hukuman kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya". (HR. Bukhari).
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan bahwa boleh menjatuhkan sanksi hukuman kepada orang yang mampu membayar utangnya yang sengaja menunda-nunda. Dan sebagian para ulama membolehkan sanksi dalam bentuk denda sejumlah uang. 
Tanggapan: Dalil ini juga tidak kuat, karena tidak ada seorangpun ulama sebelumnya yang menafsirkan sanksi yang dimaksud dalam hadis tersebut dengan sanksi dalam bentuk denda sejumlah uang.
Bahkan Imam Bukhari berkata,
 قَالَ سُفْيَانُ: (عِرْضُهُ يَقُولُ: مَطَلْتَنِي، وَعُقُوبَتُهُ الحَبْسُ)
"Sufyan Tsauri menafsirkan maksud hadis di atas, "Mencemarkan nama baik debitur yang sengaja menunda dengan ucapan: Si Fulan menunda pembayaran utangnya kepadaku. Dan maksud boleh menjatuhkan sanksi, yaitu hukuman kurungan (penjara)". (Shahih al Bukhari, jilid III, hal 118).
Kemudian sanksi denda berdasarkan pendapat yang membolehkannya bukan diberikan kepada pihak yang dirugikan akan tetapi dialihkan ke kas baitul maal.

Ta’widh ini ditentang oleh mayoritas para ulama dan difatwakan haram oleh lembaga-lembaga fikih internasional, di antaranya:
-          Keputusan Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) No. 51 (2/6) 1990, yang berbunyi,
يحرم على المدين المليء أن يماطل في أداء ما حل من الأقساط، ومع ذلك لا يجوز شرعا اشتراط التعويض في حالة التأخر عن الأداء
"Bagi nasabah yang mampu haram hukumnya menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo. Meskipun demikian, Syariat tidak membolehkan penjual membuat persyaratan ta'widh (ganti-rugi) pada saat nasabah terlambat melunasi kewajiban pembayaran". (Journal Islamic Fiqh Council, edisi VI,  jilid 1, hal 193).
-          AAOIFI dalam panduan Lembaga Keuangan Syariah pada pasal "Debitur Menunda-nunda Pembayaran Kewajiban Jatuh Tempo" ayat 2/1.b dan 2/1.c menyatakan,
ب‌- لا يجوز اشتراط التعويض المالي نقدا أو عينا ، على المدين إذا تأخر عن سداد الدين ، سواء نص على مقدار التعويض أم لم ينص ، وسواء كان التعويض عن الكسب الفائت (الفرصة الضائعة) أم عن تغير قيمة العملة.
ج-  لا تجوز المطالبة القضائية للمدين المماطل بالتعويض المالي نقدا أو عينا عن تأخير الدين
... لا يجوز اشتراط التعويض على المدين إذا تأخر عن الأداء سواء كان في بدء المداينة أم عند حلول أجلها؛ لأنه ربا واشتراطه باطل،  لقوله r ( المسلمون على شروطهم إلا شرطاً أحل حراماً أو حرم حلالاً ) أخرجه أحمد وابن ماجه بإسناد حسن، ولأن المرابي في الجاهلية كان يقول : أتقضي  أم تربي؟ ولأن النهي عن كل قرض جر نفعاً ثبت عن عدد من الصحابة.
Lembaga Keuangan Syariah tidak dibolehkan membuat persyaratan ta'widh dalam bentuk sejumlah uang ataupun barang terhadap debitur manakala ia terlambat membayar kewajiban yang telah jatuh tempo, baik ditetapkan jumlah ta'widh pada saat transaksi ataupun tidak. Baik kerugian tersebut dalam bentuk hilangnya laba di atas kertas (unrealized profit) ataupun kerugian akibat fluktuasi mata uang.
Lembaga Keuangan Syariah tidak dibolehkan mengajukan nasabah yang menunda-nunda kewajiban pembayaran jatuh tempo ke pengadilan dengan tuntutan ta'widh (ganti-rugi) berupa sejumlah uang tunai ataupun barang berharga. (AAOIFI, Al Ma'ayir As Syari'yyah, hal 26, 30).
Keputusan-keputusan lembaga-lembaga fikih internasional di atas  berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut:
1.       Ayat-ayat Alquran yang mengharamkan riba.
Ibnu Abdil Barr berkata, "Ulama salaf dan khalaf sepakat bahwa riba yang diharamkan Alquran adalah menarik uang ganti-rugi (ta'widh) dari debitur yang terlambat membayar kewajibannya setelah jatuh tempo".
Maka setiap penambahan utang dalam bentuk apapun hukumnya haram menurut kesepakatan para ulama; baik atas nama penalty, ta'widh atau apapun namanya.
2.       Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
«مَطْلُ الغَنِيِّ ظُلْمٌ» dan  «لَيُّ الوَاجِدِ يُحِلُّ عُقُوبَتَهُ وَعِرْضَهُ»
"Penundaan pelunasan utang oleh orang kaya merupakan kezaliman, dibolehkan menjatuhkan hukuman kepadanya dan dibolehkan mencemarkan nama baiknya".(HR. Bukhari).
Permasalahan penunda-nundaan pembayaran utang jatuh tempo bukanlah suatu hal yang baru, akan tetapi telah terjadi sejak masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak membolehkan menjatuhkan sanksi terhadap orang mampu yang menunda-nunda utang kecuali dalam bentuk pencemaran nama baik dan hukuman yang membuat jera yaitu  kurungan. Dan juga tidak seorang pun ulama sebelumnya yang menafsirkan makna sanksi pada hadis di atas dengan hukuman dalam bentuk pembayaran ta'widh (ganti-rugi). (lihat: Dr. Iyadh Al Anzy, Syuruth At Ta'widhiyyah, jilid I, hal 236)
Dengan demikian jelaslah bahwa menarik ta'widh (ganti-rugi) dari pihak debitur mampu yang menunda-nunda kewajiban pembayaran yang telah jatuh tempo hukumnya sama dengan riba.


3.      Kafalah bil Ujrah


Pada dasarnya akad kafalah adalah transaksi yang dibolehkan. Akan tetapi bilamana kafalah disertakan dengan ujrah (fee) maka akad ini berubah menjadi akad yang tidak dibolehkan.
 Kafalah adalah: akad penjaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (makfuul ‘anhu).
Mengambil imbalan atas jasa kafalah ini dibolehkan oleh DSN dalam beberapa fatwanya:
a.       Fatwa NO: 11/DSN-MUI/IV/2000 Tentang KAFALAH, yang berbunyi, "Ketentuan Umum Kafalah: Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan". (Himpunan Fatwa DSN 2006, hal. 72).
b.       Fatwa NO: 54/DSN-MUI/X/2006 Tentang "SYARIAH CARD, yang berbunyi, "Akad yang digunakan dalam Syariah Card adalah; Kafalah; dalam hal ini Penerbit Kartu adalah penjamin (kafil) bagi Pemegang Kartu terhadap Merchant atas semua kewajiban bayar (dayn) yang timbul dari transaksi antara Pemegang Kartu dengan Merchant, dan/atau penarikan tunai dari selain bank atau ATM bank Penerbit Kartu. Atas pemberian Kafalah, penerbit kartu dapat menerima fee (ujrah kafalah)". (Himpunan Fatwa DSN, jilid II, hal. 19).
c.       Fatwa NO: 57/DSN-MUI/V/2007 Tentang LETTER OF CREDIT (L/C) DENGAN AKAD KAFALAH BIL UJRAH, yang berbunyi, "L/C Akad Kafalah Bil Ujrah adalah transaksi perdagangan ekspor impor yang menggunakan jasa LKS berdasarkan akad Kafalah, dan atas jasa tersebut LKS memperoleh fee (ujrah)". (Himpunan Fatwa DSN, jilid II, hal. 44).
Tiga Fatwa DSN yang membolehkan memperoleh ujrah (fee) atas jasa kafalah sangat kontroversial sekali. Karena tidak seorang pun dari ulama mazhab yang membolehkan perolehan ujrah atas jasa kafalah.
Berikut ini pendapat ulama-ulama mazhab:
Pendapat ulama mazhab Hanafi
Ibnu Nujaim (wafat: 970 H) berkata,
ولو كفل رجل عن رجل على أن يجعل له جعلا فهذا على وجهين: إما أن يكون الجعل مشروطا في الكفالة أو لا فإن لم يكن مشروطا في الكفالة فالجعل باطل والكفالة جائزة ... فأما إذا كان الجعل مشروطا في الكفالة ذكر أن الجعل باطل والكفالة باطلة ... (البحر الرائق 6/242)
Seseorang melakukan akad kafalah  terhadap orang lain dan menerima imbalan dari orang yang dijamin. Akad ini memiliki  2 bentuk: 1. Imbalan tidak disebutkan/disyaratkan dalam akad maka hukum imbalannya tidak sah namun akadnya tetap sah… 2. Imbalan disebutkan/disyaratkan dalam akad maka imbalan dan akad kafalahnya tidak sah…”. (Ibnu Nujaim, Al Bahrul Ar Raiq, juz VI, Hal 242)
Pendapat ulama mazhab Maliki
Para ahli fikih dalam mazhab Maliki menghukumi akad kafalah dengan imbalan tidak sah (fasid) tanpa membedakan imbalan yang disyaratkan pada saat akad ataupun tidak.
Ad Dasuki (wafat: 1230 H) berkata,
والضمان هو الحمالة ... إذا كانت الحمالة فاسدة شرعا غير مستوفية للشروط كانت غير معتد بها كما إذا كانت بجعل فهي فاسدة... (حاشية الدسوقي على الشرح الكبير 3/77).
 "Kafalah yang tidak sah adalah kafalah yang tidak memenuhi syarat, seperti menerima imbalan dari akad kafalah…”.  (Hasyiyah Dasuki, juz III, Hal 77)
Pendapat ulama mazhab Syafi’i
Pendapat para fuqaha dalam mazhab Syafi’i sama dengan pendapat ulama dalam mazhab Hanafi, yaitu: bila imbalan disebutkan dalam akad maka imbalan dan akad kafalah tidak sah, tapi bila tidak disyaratkan dan diberikan dengan sukarela maka akad kafalahnya sah namun imbalannya tidak sah.
Al Mawardi (wafat: 450 H) berkata,
فصل : فلو أمره بالضمان عنه بجعل جعله له لم يجز. وكان الجعل باطلا. والضمان إن كان بشرط الجعل فاسدا. (الحاوي الكبير 6/443).
Jika seseorang meminta orang lain untuk menjadi penjaminnya dan dia akan memberikan imbalan kepada penjamin, akad ini tidak dibolehkan. Dan imbalannya tidak sah. Dan akad kafalah yang terdapat persyaratan imbalan tidak sah”. (Al Hawi al Kabir, juz VI, Hal 443).
Pendapat ulama mazhab Hanbali
Para ahli fikih dalam mazhab Hanbali juga tidak membolehkan menerima imbalan dari akad kafalah secara mutlak, baik disyaratkan ataupun tidak disyaratkan.
Ibnu Qudamah (wafat: 620 H) berkata,
ولو قال : اكفل عني ولك ألف . لم يجز (المغني 6/441).
 “Jika seseorang berkata kepada orang lain: Jadilah engkau penjaminku dan aku akan memberimu imbalan seribu, akad ini tidak dibolehkan". (Ibnu Qudamah, Al Mugni, juz VI, Hal 441)
Pernyataan para ulama dari berbagai mazhab di atas didukung oleh hasil keputusan muktamar Majma' Al Fiqh Al Islami (divisi fikih OKI) yang diadakan di Jeddah pada tahun 1985 dengan nomor: 12 (12/2), yang berbunyi,
إن الكفالة هي عقد تبرع يقصد للإرفاق و الإحسان، وقد قرر الفقهاء عدم جواز أخذ العوض على الكفالة، لأنه في حالة أداء الكفيل مبلغ الضمان يشبه القرض الذي جر نفعا على المقرض، وذلك ممنوع شرعا
"Akad kafalah adalah akad tabarru' (cuma-cuma), dimaksudkan untuk kebajikan. Para ahli fikih telah menetapkan bahwa tidak boleh memperoleh ujrah (fee) atas jasa kafalah, karena pada saat pemberi jaminan membayarkan kewajiban pihak tertanggung, hal ini menyerupai qardh (pinjaman) yang mendatangkan keuntungan untuk pemberi pinjaman. Dan ini dilarang oleh syariat". (Qararat wa taushiyat Al Majam' alfiqh al islami, hal 25)
Juga dituangkan dalam buku panduan lembaga keuangan syariah internasional "Ma’ayir Syar’iyyah" yang disusun oleh AAOIFI  dalam pasal V, ayat 3/1/5, yang berbunyi,
لا يجوز أخذ الأجر ولا إعطاؤه مقابل مجرد الكفالة مطلقا ومنع أخذ الأجر على الكفالة لإجماع الفقهاء على ذلك، ولأنها استعداد للإقراض (بالدفع والرجوع على المكفول) فلم يجز أخذ المقابل عن ذلك؛ لأن الإقراض نفسه لا يجوز أخذ عوض عنه وهو ربا.
"Lembaga keuangan syariah tidak dibolehkan secara mutlak mengambil atau memberikan ujrah (fee) sebagai imbalan atas jasa kafalah". (Al Ma'ayir As Syariyyah, hal. 49, 57).
Dalil-dalil yang Mengharamkan Imbalan atas Jasa Kafalah
Para ulama mengharamkan imbalan atas jasa kafalah. Hal ini berdasarkan dalil-dalil berikut:
1.      Ijma’ (konsensus para ulama).
Para ulama sepakat bahwa imbalan yang diterima dari akad kafalah tidak dibolehkan. Ijma’ ini dinukil oleh beberapa ulama, di antaranya:
Ibnu Munzir (wafat th. 319 H) dalam bukunya “Al Isyraf”, ia berkata,
أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على أن الحمالة بجعل يأخذه الحميل لا تحل ولا تجوز
"Semua ulama -yang kami ketahui- sepakat bahwa imbalan yang diterima dari akad kafalah tidak halal dan tidak dibolehkan". (Al Isyraf, jilid I, hal 120)
Al Hatthab (ulama mazhab Maliki, wafat th. 954H) berkata,
ولا خلاف في منع ضمان بجعل
"Akad kafalah dengan persyaratan ujrah (fee) disepakati oleh para ulama hukumnya tidak dibolehkan". (Mawahibul jalil, jilid IV, hal 242)
Ar Ruhuni (ulama mazhab Maliki, wafat th. 1230H) berkata,
وأجمعوا على أن الحمالة بجعل يأخذه الحميل لا يحل ولا يجوز
 "Para ulama sepakat bahwa akad kafalah dengan imbalan yang diterima oleh kafil tidak halal dan tidak boleh”.(Hasyiyah Ruhuni ala syarh Zarqani, jilid VI, hal 25)
Ijma’ tsabit yang dinukil oleh para ulama di atas merupakan dalil terkuat dalam persoalan ini –sebagaimana dijelaskan dalam ilmu Ushul Fikih-.
2.      Hadis Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
«كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا»
Setiap manfaat yang diperoleh pihak pemberi hutang adalah riba”.
Hakikat akad kafalah adalah pihak penjamin (kafil) bersedia membayar hutang makful ‘anhu (pihak yang dijamin) kepada makful lahu (pihak orang yang berpiutang). Maka jika kafil membayarkan hutang makful ‘anhu kepada makful lahu posisi kafil berubah menjadi muqridh (pihak yang memberikan hutang) kepada makful ‘anhu. Dan bila disyaratkan imbalan dalam akad kafalah maka kafil yang sudah berubah fungsi sebagai muqridh nantinya akan menerima piutangnya dan manfaat (yaitu: imbalan akad kafalah). Dengan demikian imbalan yang diterima kafil dari akad kafalah pada hakikatnya adalah riba yang didapatkan dari akad qardh (pinjaman). (lihat: . Al Mugni, juz VI, Hal 441, Hasyyah Dasuki, juz III, hal 77, Bahrul Ar Raiq, juz VI, hal, 242 dan Kasysyaful Qina’, juz III, hal 356).

Ustadz Dr Erwandi Tarmizi


Tidak ada komentar:

Posting Komentar